Makan Kepiting, Halal atau Haram
Dalam pandangan Islam, kehalalan makanan merupakan aspek penting yang menjadi perhatian umat Muslim. Salah satu makanan laut yang kerap menjadi perdebatan status kehalalannya adalah kepiting. Beberapa kalangan menghalalkan, sementara yang lain mengharamkannya. Lantas, bagaimana sebenarnya hukum memakan kepiting dalam Islam? Mari kita simak penjelasan komprehensif dari KH. Muhammad Faiz dalam program “Gapai Kemuliaan” di CNN TV.
Perbedaan Pandangan tentang Hukum Kepiting
KH. Muhammad Faiz mengungkapkan bahwa perdebatan tentang kehalalan kepiting sudah berlangsung sejak lama di kalangan ulama. Dalam tradisi keluarganya sendiri, kepiting dianggap sebagai makanan haram. Perbedaan pandangan ini memiliki dasar argumentasi yang berbeda:
- Rempah untuk Membuang Lendir: Kunci Kesehatan Islami ala dr. Zaidul Akbar
- RAHASIA KULIT KENCANG TERUNGKAP: DR. ZAIDUL AKBAR BAGIKAN DUA TIPS AMPUH TANPA BIAYA MAHAL
- Jurus Kesehatan dr. Zaidul Akbar: Rahasia Makanan Sehat Ala Sunnah
- Resep Obat Batuk Untuk Anak: Solusi Alami ala dr. Zaidul Akbar
- Bahaya Kecanduan PORNO & ONANI Ke Tubuh dan Otak: Fakta Ilmiah yang Perlu Diketahui
- Mazhab Abu Hanifah: Mengharamkan kepiting karena dianggap sebagai binatang yang menjijikkan.
- Mazhab Imam Syafi’i: Mengharamkan kepiting karena dianggap sebagai binatang “barma’i” (binatang yang hidup di dua alam – darat dan air).
Perubahan Fatwa di Era Modern
Sekitar tahun 2000-an, mulai muncul kajian lebih mendalam tentang kepiting. Para ahli biologi dan peternakan dilibatkan untuk meneliti kategori binatang ini. Hasilnya cukup mengejutkan:
“Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa di era 2000-an bahwa kepiting hukumnya halal,” jelas KH. Muhammad Faiz.
Perubahan fatwa ini didasarkan pada temuan para pakar yang menyatakan bahwa kepiting sejatinya adalah binatang air, bukan binatang amphibi seperti yang selama ini dipahami. Meskipun kepiting bisa berada di darat, namun tubuhnya memiliki kemampuan untuk menyimpan air. Inilah mengapa pedagang kepiting sering menyiram kepiting dengan air untuk menjaga kelembaban tubuhnya.
Dasar Penentuan Kehalalan Binatang Air
KH. Muhammad Faiz menjelaskan bahwa dalam hadis disebutkan semua binatang yang hidup di air pada dasarnya dihukumi halal, kecuali jika membahayakan kesehatan. Beliau memberikan contoh menarik:
“Nabi Muhammad mengharamkan semua binatang yang punya taring, seperti kucing. Ada ikan di lautan yang juga memiliki taring, misalnya ikan paus atau ikan hiu, yang pada kondisi tertentu giginya bisa mematikan. Namun tetap dihukumi halal karena sifat kelautannya mengalahkan sifat taringnya.”
Kategori Kehalalan Binatang dalam Islam
Untuk memperjelas, KH. Muhammad Faiz membagi kategori binatang dalam konteks kehalalan:
- Binatang yang Jelas Halal: Seperti daging sapi yang disembelih secara syariat.
- Binatang yang Jelas Haram:
- Babi dan turunannya
- Binatang bertaring atau berparuh mematikan (seperti elang)
- Al-Kaba’is (binatang yang menjijikkan menurut tabiat manusia normal)
- Binatang Syubhat (abu-abu): Binatang yang memiliki sifat halal dan haram sekaligus, contohnya anjing laut yang memiliki ciri-ciri anjing (haram) tapi hidup di laut (kategori halal).
Menyikapi Makanan Syubhat
Dalam menyikapi makanan yang masih diperdebatkan kehalalannya (syubhat), KH. Muhammad Faiz menekankan pentingnya sikap bijak. Beliau menjelaskan:
“Saya tidak boleh melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang yang mengonsumsi makanan syubhat. Berbeda dengan makanan yang jelas haramnya seperti babi, yang boleh kita larang.”
Jika seseorang mengonsumsi makanan syubhat berdasarkan ilmu yang didapatkan dari guru atau ulama yang dipercayainya, maka kita tidak boleh memaksakan pandangan kita yang berbeda.
Kasus Pengecualian: Alasan Medis
Terkait makanan haram yang dikonsumsi karena alasan medis, KH. Muhammad Faiz menegaskan bahwa hal tersebut diperbolehkan dengan syarat:
“Alasan medis harus disampaikan oleh orang yang berkompeten, tidak boleh hanya sekedar ‘katanya’ atau hasil pencarian internet tanpa konfirmasi ahli yang memiliki kompetensi di bidangnya.”
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan KH. Muhammad Faiz, kepiting yang semula dianggap haram oleh sebagian kalangan, kini dinyatakan halal menurut fatwa MUI berdasarkan penelitian para ahli yang menyimpulkan bahwa kepiting adalah binatang air. Hal ini sesuai dengan kaidah bahwa semua binatang air pada dasarnya halal kecuali jika membahayakan kesehatan.
Perbedaan pandangan dalam masyarakat mengenai kehalalan kepiting menunjukkan bahwa pengetahuan kita tentang makanan halal perlu terus diperbarui seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Yang terpenting adalah kita selalu merujuk pada sumber yang terpercaya dan tidak terburu-buru menghakimi pilihan makanan orang lain, terutama untuk makanan yang masih dalam kategori syubhat.
Wallahu a’lam bi shawab. Semoga artikel ini bermanfaat untuk memperjelas pemahaman kita tentang hukum memakan kepiting dalam Islam.
Rujukan Jurnal dan Sumber Ilmiah
Untuk memberikan perspektif yang lebih komprehensif dan berimbang mengenai status kehalalan kepiting, berikut adalah beberapa rujukan jurnal ilmiah dan fatwa dari berbagai sumber lokal dan internasional:
Sumber Lokal (Indonesia)
- Jurnal Al-Ahkam (Universitas Islam Negeri Walisongo): “Analisis Fatwa MUI No. 06 Tahun 2010 Tentang Kehalalan Kepiting Dalam Perspektif Mazhab Syafi’i” oleh Ahmad Syarifudin (2018). Jurnal ini menganalisis bagaimana MUI mengeluarkan fatwa kehalalan kepiting dengan mempertimbangkan ilmu biologi modern dan pendapat mazhab Syafi’i.
- Jurnal Halal (LPPOM MUI): “Karakteristik Hewan Air dalam Perspektif Ilmiah dan Fikih Islam” oleh Dr. H. Muhammad Nadratuzzaman Hosen (2015). Jurnal ini memaparkan klasifikasi ilmiah kepiting sebagai hewan air dan implikasinya terhadap hukum halal dalam fikih Islam.
- Fatwa MUI No. 06 Tahun 2010: “Tentang Kehalalan Kepiting”. Fatwa resmi yang menegaskan kehalalan kepiting berdasarkan kajian fikih dan ilmiah.
Sumber Internasional
- Journal of Islamic Law Studies (Universitas Al-Azhar, Mesir): “Classification of Marine Animals in Islamic Jurisprudence” oleh Prof. Dr. Ahmad Al-Tayyib (2016). Jurnal ini mengkaji klasifikasi hewan laut termasuk kepiting dalam perspektif empat mazhab utama.
- International Food Research Journal: “Halal Status of Arthropods in Islamic Jurisprudence” oleh M.Z. Nor-Khaizura dan H. Mahmood (2019). Penelitian ini menyajikan analisis ilmiah tentang status halal arthropoda termasuk kepiting dari perspektif sains dan Islam.
- The Journal of Contemporary Islamic Studies (Qatar University): “The Concept of Al-Khabā’ith in Islamic Dietary Laws” oleh Dr. Saleh Al-Fawzan (2020). Jurnal ini membahas konsep hewan yang dianggap menjijikkan (Al-Khabā’ith) dan bagaimana hal ini diterapkan pada kepiting dan makanan laut lainnya.
- HMC (Halal Monitoring Committee UK): “Fatwa on Consumption of Shellfish and Crustaceans” (2018). Lembaga halal Inggris ini menyatakan kehalalan kepiting dan krustasea lainnya berdasarkan pendapat mayoritas ulama kontemporer.
Rujukan-rujukan di atas menunjukkan bahwa perdebatan ilmiah tentang status kepiting telah berlangsung di berbagai negara dengan tradisi Islam, dengan kecenderungan terkini yang lebih condong pada penghalalkan kepiting berdasarkan penelitian ilmiah modern tentang habitat dan karakteristik biologisnya.