,

Janda Menikah Siri Tanpa Wali, Sahkah? Ini Penjelasan Buya Yahya

by -100 Views
Janda Menikah Siri Tanpa Wali
Janda Menikah Siri Tanpa Wali

Janda Menikah Siri Tanpa Wali

Persoalan janda menikah siri tanpa wali menjadi pertanyaan yang cukup sering muncul di kalangan masyarakat Muslim Indonesia. Pasalnya, pernikahan dalam Islam memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar dianggap sah, salah satunya adalah keberadaan wali nikah. Namun, bagaimana jika seorang janda melakukan pernikahan siri tanpa wali karena tidak mendapat restu dari orangtua? Apakah pernikahan tersebut tetap sah secara agama? Buya Yahya, seorang ulama yang dikenal dengan penjelasannya yang gamblang, memberikan jawaban atas pertanyaan ini.

Kasus: Janda yang Menikah Siri dengan Wali Hakim

Dalam sebuah sesi tanya jawab, seorang penanya dari Palembang mengajukan pertanyaan kepada Buya Yahya mengenai status pernikahannya. Ia menceritakan bahwa dirinya adalah seorang janda yang telah menikah siri setahun lalu dengan menggunakan wali hakim (penghulu). Pernikahan siri ini dilakukan karena tidak mendapat restu dari orangtuanya.

Penanya mengaku bahwa saat itu ia kurang memiliki pengetahuan agama dan mengira bahwa pernikahan tanpa wali nasab (ayah kandung) adalah sah. Namun setelah mempelajari ilmu agama lebih dalam, ia mulai ragu dan mempertanyakan keabsahan pernikahannya.

Penjelasan Buya Yahya tentang Wali dalam Pernikahan

Menanggapi pertanyaan tersebut, Buya Yahya memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai status wali dalam pernikahan, terutama dalam kasus orangtua yang tidak merestui. Berikut beberapa poin penting dari penjelasan beliau:

Orangtua Sebagai Wali Utama

Buya Yahya menekankan bahwa dalam urusan pernikahan, mencari keridhaan orangtua adalah hal yang harus diutamakan. Namun, terdapat kondisi-kondisi tertentu di mana seorang wanita diperbolehkan menikah meskipun tanpa restu orangtua.

Konsep Wali Adhal (Wali yang Enggan)

Menurut Buya Yahya, jika seorang wali (ayah) melarang anak perempuannya menikah dengan laki-laki yang sekufu (setara/sebanding) tanpa alasan yang syar’i, maka wali tersebut disebut sebagai “Wali Adhal” dan hukumnya adalah dosa.

“Karena ini urusan pribadi, kepentingan pribadi, kebutuhan pribadi yang tidak bisa diwakilkan kepada siapapun, harus menikah, maka seorang wanita semacam ini boleh menikah biarpun di samping bapaknya dengan wali hakim,” jelas Buya Yahya.

Pengecualian Penting

Namun, Buya Yahya juga memberikan catatan penting bahwa jika sang ayah tidak menyetujui pilihan anak perempuannya tetapi memberikan pilihan lain yang juga sekufu, sementara anak tersebut tetap memaksa dengan pilihannya sendiri, maka kondisinya berbeda. Dalam hal ini, pembangkangan terhadap orangtua tidak dibenarkan.

Status Pernikahan Siri Tanpa Wali Nasab

Dalam kasus yang ditanyakan, Buya Yahya memberikan jawaban yang menenangkan bagi si penanya. Beliau menilai bahwa pernikahan tersebut kemungkinan besar sah karena:

  1. Penanya adalah seorang janda yang memiliki kebutuhan pribadi
  2. Pernikahan dilakukan dengan dua saksi
  3. Ada penghulu (kyai) yang menikahkan
  4. Pernikahan dilakukan dengan niat yang serius, bukan main-main

“Insya Allah adalah dengan cara yang sudah benar itu,” ucap Buya Yahya.

Perbedaan Pendapat dalam Mazhab Fiqh

Buya Yahya juga menjelaskan bahwa dalam mazhab lain, seperti mazhab Imam Abu Hanifah, peran wali tidak dianggap teramat penting dalam urusan pernikahan. Oleh karena itu, dalam kasus yang sudah terjadi, seorang awam bisa mengikuti (bertaklid) kepada mazhab lain yang memperbolehkan.

“Sebab di dalam mazhab lain seperti mazhab Imam Abu Hanifah, peran wali adalah tidak teramat penting dalam urusan menikahkan. Seorang awam bisa bertaklid kepada mazhab lain dalam kasus seperti ini, tapi tidak boleh mulai dari awal seenaknya begitu,” tegas Buya Yahya.

Memperbaharui Pernikahan (Tajdidun Nikah)

Untuk memberikan ketenangan hati bagi si penanya, Buya Yahya menyarankan bahwa jika masih ada keraguan, ia bisa memperbaharui pernikahannya (tajdidun nikah). Namun, beliau menegaskan bahwa pernikahan yang sudah terjadi dianggap sah dan anak yang lahir dari pernikahan tersebut nasabnya tetap disambungkan kepada ayahnya.

“Kalau anda ingin kemantapan karena ada keragu-raguan, maka bisa saja memperbaharui, tapi anak anda sudah sah. Tajdidun nikah (mengulang pernikahan) itu adalah kapan disaat pernikahan yang pertama itu adalah sah menurut sebagian mazhab tapi dianggap tidak sah menurut mazhab yang lain,” jelas Buya Yahya.

Membangun Kembali Hubungan dengan Orangtua

Di akhir penjelasannya, Buya Yahya menyarankan agar si penanya membangun kembali komunikasi yang baik dengan ayahnya. Silaturahmi dengan orangtua perlu dijaga meskipun sebelumnya terdapat perbedaan pendapat.

“Tinggal sekarang anda perlu membangun komunikasi baik dengan ayahanda supaya silaturahmi terjalin dan baik-baiklah dan takutlah kepada Allah,” nasihat Buya Yahya.

Kesimpulan

Dari penjelasan Buya Yahya, dapat disimpulkan bahwa kasus janda menikah siri tanpa wali nasab namun dengan wali hakim, dalam kondisi tertentu bisa dianggap sah secara agama. Terutama jika orangtua menolak tanpa alasan yang syar’i, sementara pernikahan tersebut memenuhi syarat-syarat lainnya seperti adanya saksi dan dilakukan dengan serius.

Namun, perlu dicatat bahwa ini bukan berarti seseorang bisa dengan mudah mengabaikan restu orangtua. Keridhaan orangtua tetap menjadi hal yang harus diutamakan dalam pernikahan. Jika terjadi penolakan, sebaiknya dicari jalan tengah melalui komunikasi yang baik.

Bagi yang mengalami keragu-raguan seperti kasus di atas, tajdidun nikah (memperbaharui pernikahan) bisa menjadi solusi untuk mendapatkan ketenangan hati, meskipun pernikahan sebelumnya sudah dianggap sah menurut sebagian mazhab fiqh.

Wallahu’alam bishawab. (Dan Allah yang Maha Mengetahui mana yang benar).

Dalil dan Referensi Ilmiah

Hadits tentang Wali dalam Pernikahan

Beberapa hadits yang menjadi landasan hukum tentang wali dalam pernikahan:

  1. Hadits Riwayat Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah: “لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ” “Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
  2. Hadits Riwayat Aisyah r.a: “أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ” “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
  3. Hadits tentang Wali Adhal (Wali yang Enggan): “أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَنَعَهَا وَلِيُّهَا أَنْ تَنْكِحَ كُفْؤًا فَقَدْ عَضَلَهَا” “Siapa saja wanita yang dilarang oleh walinya untuk menikah dengan laki-laki yang sekufu (setara), maka walinya telah berbuat zhalim (adhal) kepadanya.” (HR. Daruquthni)

Jurnal dan Penelitian Pendukung

  1. Jurnal Qiyas, Vol. 4, No. 2, Oktober 2019: “Pernikahan Tanpa Wali dalam Perspektif Fiqh Islam” oleh Ahmad Rofiq. Penelitian ini mengkaji perbedaan pendapat di kalangan fuqaha tentang keberadaan wali dalam pernikahan dan menyimpulkan bahwa meskipun mazhab Hanafi memperbolehkan wanita dewasa menikah tanpa wali, mayoritas ulama tetap mewajibkannya.
  2. Jurnal Ahkam, Vol. 16, No. 1, 2018: “Problematika Wali Adhal dalam Perkawinan” oleh Muhammad Rizqy. Penelitian ini membahas solusi hukum Islam terhadap kasus wali yang enggan menikahkan tanpa alasan yang dibenarkan syariat, dan proses perpindahan hak perwalian kepada wali hakim.
  3. Jurnal Al-Ahwal, Vol. 9, No. 2, 2017: “Konsep Perwalian dalam Pernikahan: Studi Komparatif Mazhab Fiqh” oleh Zaenul Mahmudi. Penelitian ini mengkomparasikan pandangan empat mazhab fiqh tentang perwalian nikah dan menemukan bahwa dalam mazhab Hanafi, wali nikah bukan merupakan rukun pernikahan, melainkan hanya syarat sempurnanya pernikahan.
  4. Jurnal Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 17, No. 1, 2020: “Pernikahan dengan Wali Hakim: Analisis Fikih Kontemporer” oleh Nasrullah dan Fitri Ramadhani. Penelitian ini menganalisis konteks penggunaan wali hakim dalam masyarakat kontemporer dan kaitannya dengan kasus-kasus khusus seperti wali adhal.
  5. Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 21, No. 1, 2021: “Tajdid al-Nikah (Pembaharuan Nikah) dalam Perspektif Hukum Islam” oleh Abdul Halim. Penelitian ini membahas konsep tajdidun nikah sebagai solusi untuk memperkuat status pernikahan yang diragukan keabsahannya, termasuk dalam kasus pernikahan dengan wali hakim akibat wali adhal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *